April 7, 2010

Aku mau jadi nomor 1

Di suatu sore, terjadilah keributan di rumah kami. Cukup menghebohkan memang karena terjadi banjir airmata dan teriakan dari anak lelaki saya yang paling kecil, Feldy. Gara-garanya sepele saja (bagi saya ini hal sepele ternyata bagi Feldy ini hal yang luar biasa), hanya karena Feldy melihat kakaknya mandi lebih dahulu darinya. Feldy tidak terima karena dia mendapat nomor 2.
Ia terus menangis dan berteriak,” aku ngga mau nomor 2, aku mau nomor 1….hua…hua..hua..aku ngga mau kalah, aku mau menang…hua..hua..hua…abis aku mandi, Kakak Farrell harus mandi lagi….hua..hua..hua…!

Saya dan papanya kelabakan membujuknya, “Ngga apa-apa Fel, ini khan mandi bukan lomba jadi nomor 2 juga bagus”, kata saya membujuknya.
Bukannya malah berhenti menangis, Feldy malah berteriak,”Ngga mau…aku mau nomor 1”. Farrell menimpali,” Kita harus menerima dengan lapang dada, ya khan Ma! (Ini karena dia habis belajar PKn mengenai menang dan kalah jadi jawabannya textbook banget…) Feldy yang belum mengerti mengenai hal itu malah tambah sebel dan menjawab,”Kakak Farrell jahat….hua…huaa…”. Cukup lama tangisan dan teriakan itu terhenti. Saya akhirnya bersikap diam saja dan mendengarkan apa yang dia katakan. Lama-lama ternyata dia akhirnya lupa dan sudah kembali dengan aktifitasnya yang lain.

Setelah kejadian itu, saya berpikir dan bertanya,” Apakah konsep menang kalah atau menjadi juara 1 yang saya ajarkan itu salah penerapannya? Saya pernah bercerita bersama teman sesama rekan guru, saat kami mengantar siswa-siswi mengikuti lomba terkadang ada anak yang tidak siap menerima kekalahan. Bahkan lebih banyak anak yang tidak siap daripada yang siap. Biasanya yang tidak siap langsung dapat dilihat dari cara mereka menunjukkan emosi setelah mengetahui mereka kalah. Ada yang menangis sesunggukan, ada yang langsung lemas dan tidak mau bicara, ada yang mogok ngga mau ikut lomba lagi dan sebagainya.

Dari peristiwa sore itu, saya mengambil kesimpulan bahwa anak-anak kitapun harus diajarkan bahwa dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu memperoleh apa yang kita inginkan. Kita harus bersiap menerima kenyataan buruk yang terjadi pada diri kita (saya rasa tidak hanya anak-anak yang perlu terus diingatkan, orang tuapun sama.). Kita harus memiliki kemauan untuk menjadi yang terbaik tetapi kitapun selalu siap menerima setiap kekalahan.

Ternyata jalan saya menjadi seorang ibu masih sangat panjang, dan saya harus selalu siap menerima kejadian-kejadian ajaib yang dilakukan oleh anak-anak saya.
Bagaimana para orang tua, sudahkah kita mempersiapkan anak kita untuk menerima kekalahan?

3 comments:

Saherman said...

Mungkin penting juga untuk mengajarkan bahwa menang dan kalah bukan segalanya. Dalam sebuah kompetisi, sportifitas juga perlu kita tekankan.

Dalam perlombaan anak-anak pada acara Agustusan atau lainnya, anak yang tidak nomor 1 juga mendapatkan hadiah. Untuk menunjukkan bahwa semua anak harus bergembira karena telah berpartisipasi.

endah said...

betul sekali, pak! Tapi untuk memberi pengertian kepada anak2 itu cukup sulit karena sesuai dengan tingkat usia yang memang ingin menjadi pusat perhatian

obrolan said...

Selamat … sukses. Sampeyan melewati dan menikmati fase hidup yang menyenangkan. Selamat.