September 18, 2016

Cintailah, selagi masih ada waktu!




 Pagi-pagi sudah bicara cinta. Apakah virus yang tidak ada obatnya ini sedang melanda saya? Jawabannya adalah benar sekali. Tiba-tiba di hari ulang tahun pernikahan saya teringat peristiwa yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Di sebuah pagi yang indah, perasaan saya sudah berdebar tidak menentu. Peristiwa ini memang saya tunggu tapi apakah ini sebuah keputusan yang tepat. Pernikahan, seperti berjalan menuju dunia baru dimana saya harus meninggalkan tempat bernaung yang memberikan rasa aman dan bahagia.  

Saat itu, Saya tidak pernah terpikir tentang bagaimana perasaan ayah. Orang yang sangat dekat dan berarti bagi saya. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri sehingga lupa betapa seharusnya hari itu saya bisa lebih dekat dengan beliau karena beliaulah yang nantinya akan memberikan ijin sehingga saya bisa keluar dari rumah dimana tempat saya dibesarkan untuk mengikuti orang yang baru memberikan cinta setelah saya dewasa. Bahkan sampai saat ini belum pernah saya bertanya seperti apa rasanya menyerahkan seorang anak yang sangat dicintainya (pastinya!) kepada orang lain yang baru dikenalnya dan saya adalah kali pertamanya beliau menjadi wali dalam akad nikah nanti.

Jam 08.00 di hari Jumat tanggal 14 September 2001, kami sudah menuju masjid Al Musyawarah yang tidak jauh dari rumah. Mengenakan pakaian pengantin berwarna putih saya merasa seluruh tubuh saya bergetar sepanjang perjalanan. Memasuki masjid perasaan saya bertambah sedih, entah mengapa.  Suasana masjid pada saat itu terasa hening, sendu dan syahdu. Kami duduk terpisah antara laki-laki dan perempuan dalam posisi melingkar saling berhadapan. Acara dimulai saat seorang laki-laki yang menjadi sesepuh membawakan acara. Saya lebih banyak tertunduk, sesekali menatap Ayah yang berada beberapa meter dihadapan saya. Saya merasa Ayah tidak sekalipun mengarahkan tatapan pada saya, entahlah atau saya yang tidak pernah tahu.

Tibalah pada saat MC memanggil nama saya dan menanyakan, “Apakah anak Endah mau meminta ijin kepada Ayah atau kita langsung memulai acara akad nikahnya?.
Saya tidak pernah tahu dan tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tanpa sadar, saya mengangguk dan akhirnya memegang mic. Suara saya bergetar saat itu, sambil terbata saya mengatakan,”Ayah…”. Tenggorokan saya tiba-tiba tersekat, saya menunduk dan tanpa sadar bulir-bulir air mata mengalir jatuh menggenangi pipi. Suasana semakin hening, saya rasanya tidak sanggup lagi melanjutkan.  

Sambil bergetar akhirnya suara saya terdengar,”Endah memohon ijin untuk menikah”. Setelah itu saya langsung meletakkan mic dan menunduk sambil terus menangis. 

Kemudian Ayah pun menjawab,”Mari kita laksanakan akad nikahnya”.

Semua kenangan ini, tiba-tiba tergambar lagi disaat saya merayakan hari pernikahan yang ke 15, 14 September lalu. Tepatnya setelah sebulan yang lalu ayah wafat di tanggal 14 Agustus 2016. Kepergiannya yang tidak pernah saya duga (siapapun tidak pernah akan bisa menduga), rasanya baru kemarin saya memeluk, mencium, dan berbincang tentang apa yang beliau rasakan. Mengapa rasa cinta ini malah semakin membesar di saat beliau sudah tiada. Rasa rindu sepertinya tumbuh mengakar semakin kuat mencari tempat untuk menuangkannya. Betapa pedihnya jika cinta dan rindu hanya bisa dikabarkan lewat doa yang mengalun. Tak pernah bisa lagi mencium tangannya, menggenggamnya sambil menanyakan makanan apa yang ingin dicicipinya. Menyesal tidak banyak menunjukkan rasa cinta pada ayah di saat beliau masih ada.

Percayalah, selagi masih diberi waktu tunjukkan rasa cinta itu. Dengan segala perhatian layaknya kita jatuh cinta, dengan kata-kata lembut untuk orang-orang yang kita cintai. Siapapun itu, ayah, ibu, adik,kakak, suami, anak, dan yang lainnya. Kita tidak pernah tahu, seberapa lama kita diberi waktu bersama dengan orang –orang yang kita cintai. Waktu adalah misteri yang tidak pernah ada jawabannya.

Lupakan sejenak semua kesibukan, tinggalkan semua keriuhan. Beri kesempatan sesering mungkin bagi cinta kita untuk ditunjukkan kepada orang-orang tersayang. Jadwalkan layaknya meeting atau rapat yang harus kita hadiri. Bukankah cinta ini lebih penting dari semua kesibukkan yang tidak pernah ada habisnya. Selagi masih ada waktu…. Selagi masih diberi waktu.

September 8, 2016

Guru Pembelajar

Apa itu Guru Pembelajar? Guru Pembelajar salah satunya adalah sebutan bagi sebuah program yang dibuat oleh Kemdikbud. Program Guru Pembelajar adalah program lanjutan dari pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG). Hanya saja di sini kita tidak akan membahas mengenai topik program guru pembelajar tersebut yang saat ini hampir semua guru berusaha untuk mendapatkan user name dan password agar dapat terdaftar di sistem Guru Pembelajar tersebut untuk kepentingan UKG di tahun 2017 nanti

Masalah guru pembelajar ini mengingatkan pada tulisan yang pernah saya tulis sekitar 5 tahun silam dalam buku antologi "Kumpul Guru Jadi Guru". Ide mengenai guru pembelajar tiba-tiba terlintas dibenak saya yang berasal dari pengalaman pertama menjadi guru SD saat mengajar di kelas. Makna guru pembelajar dalam tulisan tersebut hampir sama artinya dengan program guru pembelajar dari Kemendikbud walaupun saya menggalinya dari sisi yang berbeda. Pada akhirnya makna guru pembelajar adalah kemampuan guru untuk selalu berusaha mengembangkan diri dengan belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan kualitas pribadi sebagai seorang guru dan akhirnya akan berakibat meningkatnya kualitas diri kita sebagai manusia.

Siapapun bisa berlaku seperti guru. Memberikan ilmu atau keterampilan dari yang belum tahu menjadi tahu. Belum bisa menjadi bisa ataupun mampu membawa perubahan dalam diri orang lain.Harapan saya dengan mempublikasikan kembali tulisan ini pembaca mendapatkan manfaatnya. Bisa berbagi ilmu dan terus belajar dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Yuk jadi guru pembelajar!



Guru Pembelajar
Oleh Endah Wulandari

Dua puluh tahun yang lalu, saat saya masih merasakan bahagianya menjadi murid di sekolah dasar, sosok guru adalah sosok yang sangat saya kagumi sekaligus saya takuti.  Kagum karena bagi saya, guru adalah orang yang tahu segalanya.  Takut karena guru bagaikan memiliki kekuasaan yang membuat saya tidak bisa mengeluarkan kata ataupun bergerak dengan bebas karena takut menimbulkan kemarahannya.
Tak pernah terlintas dalam benak saya untuk menjalani profesi mulia ini dalam kehidupan saya sebelumnya. Layaknya kebanyakan anak, saya tentu saja memilih cita-cita yang terlihat keren dan membanggakan. Saat duduk di bangku SD saya bercita-cita menjadi astronot , beranjak SMP saya bercita-cita menjadi dokter dan ketika SMA saya berniat menjadi seorang analis kimia. Jika saat ini saya menjalani profesi ini maka saya adalah seorang guru yang masih terus belajar bagaimana menjadi guru. Dikarenakan saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang guru.
Di hari pertama bekerja, saya masuk kelas dengan pakaian rapi dengan menggunakan blazer layaknya pekerja kantor seperti tempat dimana sebelumnya saya bekerja. Bahan-bahan mengajar sudah saya siapkan, mulai dari kata pembukaan sampai kata penutup, terus terang saja saya sangat percaya diri di pagi itu. Dalam pikiran saya, apa susahnya mengajar anak SD? Mengajar orang dewasa saja saya sudah berpengalaman apalagi hanya menghadapi anak SD pastilah ini akan dengan mudah saya hadapi. Bel masuk pun berbunyi, saya pun membuka pintu. Belum sempat saya berkata-kata, serombongan anak tiba-tiba langsung mendorong saya sehingga saya pun terpaksa mundur masuk kembali ke ruang laboratorium komputer tempat saya akan mengajar. Murid-murid saya sudah berlarian masuk dan saling berebut komputer tempat mereka akan belajar. Saya tercengang, karena bingung bagaimana harus menghentikan keributan yang tiada henti. Saya pun mengucapkan salam pembuka sampai beberapa kali dengan berteriak. Tetapi suara saya masih terkalahkan oleh suara siswa yang berdengung seperti suara lebah mengelilingi sarangnya. Akhirnya dengan sangat terpaksa, saya memukulkan penggaris kayu ke papan tulis, dengung itu berhenti suasana menjadi senyap. Blazer saya mendadak terasa panas dan mulailah saya mengajar dengan hati bertanya, apakah saya sanggup melewati hari ini dengan sempurna? Hari pertama, saya belajar mengenai manajemen kelas.
Teori mengajar memang bisa didapatkan dari berbagai buku atau dunia maya, tetapi belajar langsung di depan kelas mengasah guru untuk terus berinovasi mencari metode terbaik sesuai dengan kebutuhan murid yang diajarnya. Suatu ketika di kelas saya terdapat murid yang berkebutuhan khusus, murid ini sangat pintar tetapi dia tidak lancar bicara. Pada awalnya saya menganggap anak ini tidak perlu mendapatkan cara belajar yang berbeda dengan siswa yang lain. Saat menerangkan tidak ada masalah yang terjadi, semua siswa diam dan memperhatikan materi yang saya ajarkan melalui layar infocus. Setelah menerangkan siswa saya bimbing untuk mengikuti langkah-langkah yang saya lakukan. Pada tahap inilah mulailah terjadi keributan, siswa saya yang ABK ternyata akan langsung berteriak jika dia tidak bisa mengikuti apa yang saya perintahkan. Sedangkan saya tidak bisa memahami apa yang ia katakan. Bisa dibayangkan kelas menjadi kacau karena saya harus terus berhenti mengajar jika siswa ABK ini berteriak untuk mencari tahu permasalahan. Akhirnya saya mengambil keputusan, siswa ini didudukkan tepat di sebelah saya sehingga dia bisa melihat langsung apa yang saya lakukan tanpa harus melihat layar infocus. Ternyata keputusan saya sangat tepat, akhirnya siswa ini bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan mampu memperoleh nilai yang baik juga di akhir semester. Metode ini saya tularkan kepada guru komputer yang mengajarnya di kelas selanjutnya. Dari pengalaman ini, saya belajar, setiap siswa memiliki cara belajar sendiri. 
Guru ternyata tidak hanya memberi ilmu, di dalam kelas seorang guru bisa saja menjadi seorang murid. Satu pengalaman yang sangat membekas di hati saya, saat mengajar kelas 3 di suatu pagi. Materi yang saya bawakan sangat sederhana yaitu menggambar bentuk-bentuk dengan menggunakan salah satu software gambar Paint. Menggambar dengan komputer merupakan pelajaran yang sangat disenangi oleh anak-anak berbeda jika mereka diberi crayon dan kertas gambar yang terkadang tidak semua murid menyenanginya. Saya mengajar mereka menggambar lingkaran, segitiga, persegi dan masih banyak lagi. Tiba-tiba salah seorang murid saya berkata,”Bu Endah, sulit sekali ya, untuk menggambar garis lurus.”
Saya yang tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu langsung menjawab,” Ya, memang agak sulit tetapi kalau kamu menggambar garis dengan perlahan pasti garisnya akan menjadi lurus.”
Kemudian dari sebuah sudut terdengar salah seorang murid menyahut,” Bisa kok Bu! Caranya tekan tombol shift lalu gambar garisnya, pasti tidak akan bengkok!”
Terus terang pada awalnya saya malu diajari oleh anak kelas 3 belajar cara menggambar garis lurus di komputer padahal saya adalah seorang sarjana komputer. Alhamdulillah, saya akhirnya menghilangkan rasa malu dan berkata, “Terima kasih A! Ayo, semua sekarang kita coba menggunakan tombol shift untuk menggambar garis lurus.” Dan saya pun belajar, ilmu bisa datang dari siapa saja.
Menjadi guru ternyata tidak hanya memiliki kewajiban untuk memberi ilmu pengetahuan. Ada kewajiban lain yang ternyata lebih besar dari itu yaitu membentuk kepribadian. Kewajiban yang pertama tentu saja jauh lebih mudah dilakukan dari kewajiban yang kedua. Percaya atau tidak, untuk membuat murid-murid tertib meletakkan sepatu di rak  membutuhkan waktu hampir dua tahun bagi saya. Ini pun melalui komitmen dengan memberikan sanksi jika siswa tidak mematuhinya. Jadi tidak heran bila membangun karakter siswa memerlukan waktu yang lama dan hal ini sering luput dari kita sebagai guru karena kewajiban ini memang bukanlah kewajiban tertulis yang akan kita temui di surat perjanjian saat kita bekerja. Kalau kita tidak mau sadar maka jangan heran jika nanti kita melahirkan generasi yang jenius tetapi tidak memiliki kepribadian yang tangguh. Dari sini saya belajar, guru tidak hanya memberi ilmu tetapi juga memberi cahaya bagi nurani.
Setelah hari pertama menjalani profesi ini, saya masih belajar. Hari kedua menjalaninya, saya masih belajar. Ternyata setelah hari ke 2675 saya menjalaninya, saya masih terus belajar bagaimana mennjadi seorang guru yang baik bagi anak-anak didiknya.

September 5, 2016

Kasih Sayang

Membaca judul tulisan ini, bisa jadi anda membayangkan kisah romantis atau semacamnya. Bukan, ini bukan membahas masalah-masalah roman percintaan atau semacamnya. Tulisan saya kali ini berdasarkan pengalaman saya hari Sabtu, 3 September lalu yang menerima banyak sekali kasih sayang melalui sudut pandang berbeda.

Hari itu, saya dan rekan-rekan pulang dari Samarinda setelah mengikuti perkuliahan jenjang magister yang sudah beberapa waktu saya jalani. Dalam perjalanan kami, seperti biasa banyak sekali obrolan dengan berbagai topik yang terkadang terlontar begitu saja. Biasa, perjalanan dengan jarak tempuh 3-4 jam jika tidak diselingi obrolan tentu akan membosankan, terlebih kami berusaha untuk mendampingi rekan kami yang bertugas sebagai pengendara kendaran agar tidak mengantuk. Saya, mb Anita, pak Haryono dan pak Ding merupakan tim yang cukup kompak, apalagi setelah lebih dari enam bulan kami melalui perkuliahan ini bersama. Banyak suka dan duka yang telah kami alami sehingga kekompakkan sudah terbangun dengan sendirinya.

Perjalanan hari itu cukup lancar walaupun hujan deras mengiringi perjalanan kami, cukup banyak perdebatan dan diskusi kecil kami. Mulai dari membahas materi kuliah, sampai chit chat tentang keluarga, politik, atau permasalahan kantor yang kami hadapi diselingi canda tawa terhadap lelucon atau kisah kami sendiri. Lumayan juga manfaat diskusi-diskusi kecil ini, paling tidak saya dan teman-teman bisa sharing mengenai berbagai pengalaman yang pernah kami alami atau bahkan saling menasehati.

Saya hari itu cukup gembira karena sudah membayangkan akan tiba di rumah sebelum azan maghrib berkumandang. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, pak Haryono yang telah menempa dirinya berkali-kali melewati rute Sangatta-Samarinda membuat beliau sangat hapal dengan kondisi jalan yang dihadapi. Melewati kota Bontang, hujan deras terus membayangi. Pak Haryono, semakin cepat mengendarai kendaraan yang kami tumpangi. Tiba-tiba di sebuah tanjakan, mobil yang sedang berjalan kencang berhenti tiba-tiba.

Pak Har, begitu saya memanggilnya berkata,"kok, mobilnya ngga bisa jalan ya!.

Saya lalu menjawab," matikan dulu mesinnya, pak! ACnya juga dimatikan. Baru dihidupkan lagi!.

Pak Haryono pun melakukan saran saya, ternyata mobil tetap tidak mau menyala. Kami bertiga pun saling berpandangan, dan sepakat turun karena mobil kami berhenti di tengah jalan yang pastinya mengganggu jalannya lalu lintas. Saya dan mb Anita segera mencari sesuatu untuk menahan mobil untuk mengantisipasi agar mobil tidak mundur. Walaupun sudah menggunakan "handrem" tentu kekhawatiran itu masih ada di benak saya.  Saya melihat sebuah bata di selokan, mb Anita yang melihat saya membawa bata tiba-tiba nyeletuk, "kok, ada bata disini ya bu! Padahal di sekitar sini rumahnya kayu semua. Saya tidak berkomentar, melainkan langsung meletakkan batu bata tersebut di ban belakang mobil.

Saya melihat pak Ding, sudah mulai bertugas seperti polisi lalu lintas mencegah mobil-mobil yang datang berlawanan arah saling bertabrakan. Beliau menggunakan kantong plastik untuk menutupi kepala mencegah hujan membasahi kepala. Melihat hal tersebut saya, langsung merasakan dingin disekujur tubuh, hujan deras tanpa ampun sudah membuat basah seluruh pakaian yang saya kenakan. Lalu saya melihat sekeliling, rumah-rumah terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Saya pun mengatakan kepada pak Haryono, mobil ini harus didorong agar tidak mengganggu lalu lintas. Mb Anita menyarankan kita bertiga mendorong mobil sehingga bisa berpinda ke pikir. Tetapi melihat kondisi kami yang pastinya sudah kelelahan, saya mengambil inisiatif mencari bantuan. Dengan segera saya berjalan mencari rumah yang terbuka pintunya untuk mencari pertolongan. Setelah berjalan beberapa saat, tibalah saya di sebuah toko penjual dan pembuat pintu dan semacamnya. Ada seorang ibu tua duduk dengan menggunakan kain sarung berwarna merah.

Saya pun bertanya, "Ibu, apakah ada orang yang bisa kami mendorong mobil?. Mobil kami mogok dan perlu di dorong agar tidak mengganggu lalu lintas".

"Di sini ngga ada orang, kalau mau saya panggilkan anak saya di atas", dengan logat khas Sulawesi yang cukup kental sambil menunjuk ke arah sebuah rumah yang cukup dekat.

"Mobilnya ditarik saja, nanti anak saya yang tarik dengan mobilnya", lanjut ibu tersebut.

Saya langsung lega tapi teringat sesuatu dan berkata,"kami tidak punya tali bu!.

"Itu ada talinya", kata ibu sambil memperlihatkan segulungan tali yang ada di atas meja

Kemudian ibu tersebut dalam hujan hanya menggunakan selembar sarung yang menutupi kepalanya berjalan memberitahu putranya untuk membantu kami. Saya, berdiri menunggu sambil berteduh. Tak tega rasanya melihat ketiga teman saya sudah basah kuyup di jalan raya bermandikan hujan. Tetapi untuk ikut bergabung dalam hujan, saya sepertinya tidak akan bisa bertahan. Selintas terlihat seorang wanita di dalam rumah ibu tadi.

Saya pun langsung memanggilnya, "Mbak, apakah saya bisa meminjam payung?.

Wanita muda ini pun keluar, sambil berkata "Ibu saya dari tadi juga mencari payung tapi tidak ketemu. Adanya hanya jas hujan".

"Saya pinjam jas hujannya, mbak. Nanti saya kembalikan". ujar saya

Akhirnya dengan menggunakan jas hujan tersebut saya pun dengan berani menghadapi derasnya hujan dihadapan saya. Sambil menunggu mobil anak ibu tersebut, saya berbincang dengan pak Har. Tiba-tiba, sebuah mobil pick up berhenti dan turunlah dua orang laki-laki. Seorang paruh baya dan lainnya masih muda. Mereka bertanya tentang mobil dan langsung menawarkan bantuan untuk melihat kondisi mobil. Saya menyarankan agar mobil ditarik terlebih dahulu baru dicek. Pas saya berlari mengambil tali, mobil anak sang ibu tadi juga datang membantu. Akhirnya diputuskan mobil kedua laki-laki yang menarik mobil kami. Setelah mobil kami berada di tempat yang aman yakni sebuah bengkel yang ada di sekitar lokasi. Saya dan mb Anita sambil berjalan kaki menuju ke bengkel tempat mobil kami ditarik. Sambil menunggu para bapak berdiskusi tentang perbaikan mobil, saya dan mb Anita menunggu di warung dekat bengkel dan memesan minuman dan makanan. Pak Har pun memesan segelas kopi untuk menghangatkan badan. Saat itu, kami berbincang tidak lama. Tiba-tiba kami melihat mobil kedua laki-laki penolong sudah berjalan tanpa pemberitahuan kepada kami.

Pak Har langsung berkata," Loh, kenapa mereka tidak berpamitan ya! Padahal saya mau memberikan sedikit biaya atau bantuan mereka. Betapa mereka ikhlas dalam membantu, sampai tidak mau berpamitan agar kita tidak memberikan apa-apa".

Saya pun terdiam, setelah beberapa saat kami mengambil keputusan untuk meminta bantuan suami saya menjemput dan mobil sementara kami tinggal di bengkel tersebut. Sementara menunggu, saya membereskan jas hujan, payung dan tali yang saya pinjam kepada ibu yang tadi saya temui. Dikarenakan jarak antara rumah ibu lebih jauh dibandingkan jarak rumah anaknya dengan bengkel, saya akhirnya memilih mengembalikan barang-barang tersebut kepada anaknya. Kepada anaknya saya menitipkan barang sekaligus uang untuk bantuan sang ibu. Pada awalnya anaknya menolak tetapi karena saya paksa akhirnya diterimanya uang tersebut.

Ternyata ibu tersebut melalui anaknya mengembalikan uang yang saya berikan. Berapa banyak sudah pertolongan yang kami terima hari itu dari orang-orang yang bahkan saya pun tidak sempat mengenal namanya. Inilah yang saya sebut kasih sayang bukan karena rasa cinta tetapi hanya karena rasa ikhlas dan kepedulian yang teramat tinggi terhadap orang lain. Saya pun tidak pernah tahu apakah saya bisa menjadi seperti ibu atau kedua lelaki penolong kami. Terima kasih tak terhingga, kasih sayang ibu dan bapak membuat kami melewati hari dengan penuh gembira tanpa harus mengeluh terhadap kesulitan yang kami hadapi. Semoga ini menjadi pelajaran bagi saya dan teman-teman untuk bisa selalu bermanfaat bagi sesama.