April 30, 2009

Kartini dan Kesadaran Berbahasa

Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 April 2009
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -

Oleh Wildan Nugraha

LEPAS dari sosoknya yang bagi sementara pihak sangat lekat dengan kepentingan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, kesadaran berbahasa Kartini agaknya menjadi salah satu faktor yang membuatnya terus dikenang. Tanggal ulang tahunnya, 21 April, di negeri ini identik dengan namanya; nama seorang perempuan ningrat yang lahir di Jepara pada 1879.

Dalam salah satu suratnya kepada Stella Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan bahwa selain bahasa Belanda yang sudah dikuasainya, dia pun ingin pula mahir berbahasa asing lainnya, yakni bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Bukan karena agar pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulisnya.

Antara lain lewat kesadaran berbahasa itulah Kartini menemukan ketidakberesan dalam masyarakatnya. Meski dikungkung adat, mata Kartini lebar terbuka melihat dunia luas di luar Jepara, teristimewa kepada dunia Barat, dan hal itu menyuburkan daya kritis dalam nuraninya. "Adat sopan santun orang Jawa amat sukar," ujar (Raden Ajeng) Kartini kepada Stella dalam surat bertanggal 18 Agustus 1899.

Tentang feodalisme yang sangat mengakar di lingkungannya Kartini menggambarkan, misal, bila adiknya sedang duduk di kursi dan dia berjalan melewatinya, maka sampai kakaknya berlalu sang adik harus turun duduk di tanah sambil menundukkan kepalanya. Sementara, seorang gadis Jawa yang baik jalannya harus perlahan-lahan dengan langkah yang pendek-pendek seperti siput layaknya. Lalu dalam hal berbahasa pun, Kartini menyadari bahwa bahasa yang bertingkat-tingkat di lingkungannya itu menghadirkan sekat-sekat kemanusiaan: seseorang akan "berdosa" bila memakai bahasa Jawa rendah (ngoko) kepada sembarang orang.

Akan tetapi, Kartini bukan seorang "radikal". Dia tidak lantas membenci kejawaannya. "Boleh jadi seluruh badan kami sudah dijiwai pikiran dan perasaan Eropa; tetapi, darah, darah Jawa yang hidup dan mengalir hangat dalam tubuh kami ini, sekali-kali tidak dapat dihilangkan. Kami merasainya pada harum kemenyan dan semerbak bunga, pada lagu-lagu gamelan, pada irama angin ketika meresak pucuk-pucuk pohon kelapa, pada dekut perkutut, pada waktu batang padi bersiul, saat lesung padi berdentung-dentung, " ungkap Kartini dalam satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon. Pun, Kartini menghargai orang tua dan kakak-kakaknya dengan menuruti semua adat Jawa dengan tertib. Tapi sebagai sebentuk perlawanan, kata Kartini kepada Stella, "Mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnya adat itu."

Salah satu hal yang ditekankan Kartini adalah mengenai pencerahan akal budi, sebuah inti dari pemikiran modern yang tengah berkembang di Eropa pada masa itu, yang membayang kuat di benak Kartini. "Kemajuan peradaban," katanya kepada Nyonya Ovink-Soer, "didapat bila kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan." Lantas, soal mempertinggi derajat budi manusia, Kartini kerap menyoal ihwal kesadarannya dalam berkeyakinan.

Kepada Stella dalam suratnya bertanggal 6 November 1899, misalnya---dan terbaca juga dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon--- Kartini melihat bahwa kepada masyarakat di tempatnya keteguhan taklid lebih kuat ditanamkan ketimbang keteguhan yang dilandasi kesadaran. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai keyakinannya bila tidak mengenalnya, ungkapnya. "Orang-orang di sini diajarkan membacanya, tapi tidak diajarkan maknanya," katanya. "Pikirku, itu pekerjaan gila." Banyak lagi Kartni menuliskan kegundahannya mengenai realitas di sekelilingnya yang dengan tersirat dia sandarkan kepada keyakinannya. "Papa orang yang tidak dapat mengerti, bahwa kecuali ada keluhuran dalam derajat dan pangkat, masih ada keluhuran lain yang meniadakan segala-galanya, " tulisnya kepada Nyonya Abendanon, 13 Agustus 1900.

Kesadaran berbahasa memang merupakan sesuatu yang penting. Dalam hal Kartini, kesadaran ini tak bisa dilepaskan dari kebiasaannya berkorespondensi dengan sahabat-sahabat penanya. Mungkin kita bisa menganggap semua peristiwa yang dialami seseorang sebagai peristiwa yang acak; dan kebiasaan menulis sebagai salah sebuah upaya merefleksikan peristiwa-peristiwa acak tersebut. Mengutip Bambang Sugiharto (1996), bahasa dapat membantu memperdalam peristiwa-peristiwa acak seseorang lewat refleksi dan dengan mengangkat segala hal partikular ke taraf konsep yang bersifat umum. Deskripsi membantu agar pengalaman menemukan bentuknya; dia dapat mengangkat makna tersembunyi di dalam input indrawi yang acak-acakan saat seseorang mengalami sesuatu peristiwa, dan dengan begitu deskripsilah yang menjadikan seseorang memahami pengalaman, atau yang membuat segala peristiwa acak menjadi "pengalaman" .

Bambang Sugiharto mencontohkan, misalnya, pengalaman membaca buku bisa berubah banyak manakala seseorang harus membuat ulasan tentangnya. Tulisan ulasan yang dibuat itu dengan sendirinya akan mengintensifkan pengalaman membaca dengan mengangkatnya ke taraf refleksi. Maka Kartini, bila demikian, dengan surat-suratnya yang luar biasa dia kerjakan, setidaknya jika betul selama empat atau lima tahun terakhir masa hidupnya---dia wafat dalam usia 25 pada 17 September 1904---seakan tidak berhenti melakukan refleksi atas "peristiwa-peristiw a acak" yang didapatkannya sehari-hari.

Gagasan-gagasan kritis Kartini, terutama tentang pentingnya pendidikan, posisi sentral kaum perempuan dalam masyarakat yang beradab, dan nilai-nilai filosofis transendental didapatkan dari kekayaan pergaulan dan bacaannya; hal yang mungkin sukar dia peroleh bila tidak disokong oleh kesadarannya dalam berbahasa. "Bahasa adalah rumah tempat tinggal sang Ada," kata Martin Heidegger (1889-1976). Bila benar, demikian sahut Bambang Sugiharto, maka bahasa adalah rumah bagi pengalaman-pengalam an yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, menjadi semacam "substansi" tertentu. Dengan kata lain, pengalaman itu tidak bermakna bila tidak menemukan "rumah"-nya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata bahasa adalah ibarat kerang yang kosong tanpa kehidupan.** *

WILDAN NUGRAHA, cerpenis bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung.

April 8, 2009

Akhirnya Menyerah.....

Sudah seminggu ini saya berjuang untuk mengatasi demam, radang tenggorokan dan kecapekan yang sudah mulai merayapi seluruh sendi di tubuh saya. Harapan saya dengan hanya mengandalkan obat batuk dan pertahanan tubuh sendiri saya bisa sembuh tanpa harus mengandalkan antibiotik. Saya memang tergolong orang yang susah sekali minum obat jika itu dalam bentuk tablet karena sudah ketakutan tidak bisa menelannya. Berbagai cara sudah pernah saya coba, dengan menggunakan pisang, minum dengan air yang manis dan lain sebagainya tetapi karena sudah faktor psikis yang berbicara maka saya jika melihat obat pasti sudah merasa mual....kalah sama anak-anak saya yang doyan sekali minum obat....hehehe

Lima hari sebelumnya saya masuk ruang emergency karena badan sudah menggigil tidak karuan, oleh dokter saya diobservasi selama dua jam dan dites darah untuk mengetahui apakah ada penyakit lain selain radang tenggorokan yang saya derita. Alhamdulillah, hasil tes darah menyatakan bahwa saya tidak mengalami penyakit lain.

Jika mau dirunut, penyebab sakit yang saya derita adalah memang mutlak kesalahan saya sendiri. Hobi saya menyantap makanan pedas, panas dan berminyak seperti bakso, cireng, makanan bersantan dan lain-lain merupakan faktor utama penyakit yang saya derita. Dokter sudah berkali-kali mengatakan bahwa tenggorokan saya sudah sangat sensitif karena rusak akibat kebiasaan makan saya tidak baik. Jadi jika daya tahan tubuh saya turun sedikit saja maka radang datang dengan segera dan tanpa ampun menyerang yang efeknya akan mengakibatkan demam dan tubuh terasa lelah. Ditambah kurangnya istirahat karena aktifitas yang cukup menyita waktu membuat tubuh saya tidak cukup untuk mempersiapkan tenaga yang saya butuhkan.

Akhirnya saya menyerah, kemarin diantar oleh suami saya meminta obat tambahan untuk mengurangi radang tenggorokan dan obat untuk tidur supaya saya bisa istirahat dengan cukup. Dokter menyarankan saya istirahat total selama 2 hari ditambah dengan libur pemilu dan libur nasional 1 hari maka saya bisa beristirahat selama 4 hari.

Selama istirahat, saya berpikir semakin bertambah usia kita maka sudah seharusnya kita lebih memperhatikan pola makan, pola istirahat dan manajemen waktu. Ketiga faktor ini jika berlebihan atau kekurangan maka akan akan berakibat fatal bagi hidup kita nantinya. Semakin lama kita mengabaikannya maka semakin besar resiko yang akan kita tanggung dikemudian hari.

Jadi mulai hari ini saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengabaikan setiap istirahat yang dikeluarkan oleh tubuh saya dan akan mengatur pola makan dan manajemen waktu dalam bekerja. Doakan agar saya cepat sembuh dan bisa memulai hari dengan janji yang baru...!!!!

April 4, 2009

Three Cups of Tea


Hari Kamis sore, saya menemukan buku yang selama ini saya cari. Judulnya Three Cups of Tea, berisi kisah nyata seorang pendaki gunung yang tersesat di salah pegunungan es tertinggi dunia K2 Balmoro Pakistan. Perjalanannya yang gagal dalam mencapai puncak memberikan arah hidup yang sangat berbeda pada dirinya.

Selama ini saya berpikir bahwa manusia yang ada di dunia saat ini telah terkotak-kotak menjadi ribuan kelompok yang berdasarkan anggapan atas perbedaan warna kulit, bangsa, agama, bahasa, suku, kaya, jabatan dan masih banyak sekali batasan yang kita ciptakan untuk menunjukkan bahwa diri kita berbeda dengan orang lain. Tetapi dalam buku ini saya belajar bahwa semua batasan yang kita ciptakan mengakibatkan penderitaan, peperangan dan berbagai masalah lain yang timbul hanya kita merasa bahwa kita berbeda.

Greg Mortenson, pendaki gunung ini dalam bukunya mengajarkan kepada saya bahwa kepedulian kita terhadap orang lain dapat membawa perubahan yang begitu dahsyat dalam kehidupan ribuan orang miskin di Pakistan. Segalanya berawal dari sini, ketika Greg tersesat, dia sampai di suatu desa kecil bernama Korphe yang penduduknya hampir tidak pernah keluar dari desa mereka karena jalur yang begitu sulit untuk ditempuh dari kota ditambah lagi dengan suku yang memerintah bukan dari suku mereka sehingga pemerintah tidak pernah melirik ke desa kecil tersebut.

Selama di desa tersebut, Greg ditampung di rumah Haji Ali seorang ketua di desa tersebut, mereka memberikannya pertolongan, makanan dan merawat Greg tanpa pamrih walaupun mereka sendiri berada kekurangan. Haji Ali berkata, "Di tempat kami berlaku aturan jika seseorang minum teh dari gelas pertama maka anda adalah tamu, jika anda minum teh gelas kedua maka anda dianggap keluarga dan gelas teh ketiga maka anda bergabung dengan kami dan kami bersedia mati untuk membela anda...Selama tinggal disana, Greg merasakan bahwa anggapannya selama ini bahwa muslim itu teroris berubah sudah. Di sana dia merasakan kehangatan dan penerimaan yang begitu terbuka membuatnya berpikir apa yang bisa dia lakukan untuk membalas semua kebaikan orang yang ada di Korphe. Dan akhirnya dia tahu yang harus dilakukannya yaitu membangun sekolah untuk mendidik masyarakat disana karena beliau yakin dengan pendidikan maka kehidupan masyarakat akan berubah.

Setiba sesampai di Amerika, Greg merasa kebingungan apa yang harus dilakukan seorang pemuda miskin untuk mewujudkan janjinya kepada seorang nun jauh di Pakistan sana. Terbayang olehnya anak-anak desa Korphe yang belajar di padang rumput yang dingin tanpa ruangan kelas. Mulailah beliau menulis kepada sejumlah orang terkenal, orang kaya yang alamatnya ada di majalah. Tetapi hasilnya sia-sia, sampai akhirnya ada seorang ilmuwan kaya yang memberinya 20 ribu dolar pertama untuk membangun sekolah tersebut. Dimulai dari desa Korphe kemudian akhirnya gerakan ini menghasilkan ratusan sekolah di Pakistan yang dikerjakan sendiri oleh penduduknya karena merekapun sangat mendukung gerakan ini.

Buku ini dilengkapi dengan beberapa foto yang menggambarkan betapa kerasnya alam di desa yang terletak di atap dunia tersebut, dengan bahasa yang begitu sederhana dan mengalir deras membawa imajinasi saya membangun gambaran desa-desa di pegunungan Pakistan. Kadang saya tersenyum jika Greg berhasil membangun satu sekolah lagi, kadang saya ikut bersedih melihat bagaimana terjadi peperangan antara Pakistan dan India yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan ribuan menjadi pengungsi, kadang saya ikut ketakutan saya Greg menjadi tawanan kelompok Islam garis keras karena mereka curiga dengan gerakan yang dilakuan..... Perasaan saya benar-benar teraduk tetapi dari kesemuanya itu satu hal yang membuka mata saya bahwa satu hal kecil yang kita lakukan dapat membawa perubahan besar.

Buku ini sangat saya anjurkan untuk dibaca...!!!
http://www.threecupsoftea.com
http://www.gregmortenson.com