Saat ini saya sedang getol-getolnya mengajak anak-anak saya untuk bermimpi. Tapi bukan bermimpi dalam tidur loh....! Melainkan berimajinasi mengenai topik-topik yang mereka sukai. Terkadang imajinasinya mengenai cita-cita mereka kelak atau tempat-tempat mana saja yang ingin mereka kunjungi. Bahkan saya juga sering mengajak mereka berkhayal dengan membuat cerita yang berdasarkan imajinasi mereka sendiri.
Ternyata seru juga...! Anak-anak saya sering mencampurkan impian mereka dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Contohnya cerita tentang sang pencuri boneka, dia membayangkan sang pencuri berbaju hitam dengan topeng yang dikejar polisi dengan menggunakan mobil polisi dengan tipe khusus (saya sudah lupa namanya). Dia membayangkan polisi dan pencuri saling berkejaran (padahal cuma boneka yang dicuri ya...kalo polisi kita mau ngga ya mengurus hal sepele seperti ini...:)) Kemudian kejadian ini ditutup dengan ditangkapnya penjahat dan dijebloskan ke penjara.
Saat Farrell bercerita, saya sesekali memperbaiki kata-kata yang tidak sesuai penggunaannya. Penggunaan awalan yang terkadang dia masih terbalik-balik pengunaannya. Manfaat berimajinasi ini ternyata sangat membantu dalam memperbanyak pendaharaan kata. Selain itu anak belajar menentukan urutan atau perencanaan. Mereka akhirnya memahami untuk meraih atau mencapai impiannya, mereka harus melakukan proses-proses yang mereka rencanakan sendiri. Efek yang paling terlihat adalah anak-anak menjadi lebih komunikatif alias cerewet....:) Keakraban kita kepada anak pun terjalin tanpa kita sadari.
Menyenangkan bukan...? Ayo kita mulai untuk mengajak anak-anak kita berimajinasi. Bukankah kenyataan yang kita raih saat ini adalah salah satu dari impian kita di masa kecil. Selamat bermimpi anak-anak....!
April 22, 2010
April 7, 2010
Aku mau jadi nomor 1
Di suatu sore, terjadilah keributan di rumah kami. Cukup menghebohkan memang karena terjadi banjir airmata dan teriakan dari anak lelaki saya yang paling kecil, Feldy. Gara-garanya sepele saja (bagi saya ini hal sepele ternyata bagi Feldy ini hal yang luar biasa), hanya karena Feldy melihat kakaknya mandi lebih dahulu darinya. Feldy tidak terima karena dia mendapat nomor 2.
Ia terus menangis dan berteriak,” aku ngga mau nomor 2, aku mau nomor 1….hua…hua..hua..aku ngga mau kalah, aku mau menang…hua..hua..hua…abis aku mandi, Kakak Farrell harus mandi lagi….hua..hua..hua…!
Saya dan papanya kelabakan membujuknya, “Ngga apa-apa Fel, ini khan mandi bukan lomba jadi nomor 2 juga bagus”, kata saya membujuknya.
Bukannya malah berhenti menangis, Feldy malah berteriak,”Ngga mau…aku mau nomor 1”. Farrell menimpali,” Kita harus menerima dengan lapang dada, ya khan Ma! (Ini karena dia habis belajar PKn mengenai menang dan kalah jadi jawabannya textbook banget…) Feldy yang belum mengerti mengenai hal itu malah tambah sebel dan menjawab,”Kakak Farrell jahat….hua…huaa…”. Cukup lama tangisan dan teriakan itu terhenti. Saya akhirnya bersikap diam saja dan mendengarkan apa yang dia katakan. Lama-lama ternyata dia akhirnya lupa dan sudah kembali dengan aktifitasnya yang lain.
Setelah kejadian itu, saya berpikir dan bertanya,” Apakah konsep menang kalah atau menjadi juara 1 yang saya ajarkan itu salah penerapannya? Saya pernah bercerita bersama teman sesama rekan guru, saat kami mengantar siswa-siswi mengikuti lomba terkadang ada anak yang tidak siap menerima kekalahan. Bahkan lebih banyak anak yang tidak siap daripada yang siap. Biasanya yang tidak siap langsung dapat dilihat dari cara mereka menunjukkan emosi setelah mengetahui mereka kalah. Ada yang menangis sesunggukan, ada yang langsung lemas dan tidak mau bicara, ada yang mogok ngga mau ikut lomba lagi dan sebagainya.
Dari peristiwa sore itu, saya mengambil kesimpulan bahwa anak-anak kitapun harus diajarkan bahwa dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu memperoleh apa yang kita inginkan. Kita harus bersiap menerima kenyataan buruk yang terjadi pada diri kita (saya rasa tidak hanya anak-anak yang perlu terus diingatkan, orang tuapun sama.). Kita harus memiliki kemauan untuk menjadi yang terbaik tetapi kitapun selalu siap menerima setiap kekalahan.
Ternyata jalan saya menjadi seorang ibu masih sangat panjang, dan saya harus selalu siap menerima kejadian-kejadian ajaib yang dilakukan oleh anak-anak saya.
Bagaimana para orang tua, sudahkah kita mempersiapkan anak kita untuk menerima kekalahan?
Ia terus menangis dan berteriak,” aku ngga mau nomor 2, aku mau nomor 1….hua…hua..hua..aku ngga mau kalah, aku mau menang…hua..hua..hua…abis aku mandi, Kakak Farrell harus mandi lagi….hua..hua..hua…!
Saya dan papanya kelabakan membujuknya, “Ngga apa-apa Fel, ini khan mandi bukan lomba jadi nomor 2 juga bagus”, kata saya membujuknya.
Bukannya malah berhenti menangis, Feldy malah berteriak,”Ngga mau…aku mau nomor 1”. Farrell menimpali,” Kita harus menerima dengan lapang dada, ya khan Ma! (Ini karena dia habis belajar PKn mengenai menang dan kalah jadi jawabannya textbook banget…) Feldy yang belum mengerti mengenai hal itu malah tambah sebel dan menjawab,”Kakak Farrell jahat….hua…huaa…”. Cukup lama tangisan dan teriakan itu terhenti. Saya akhirnya bersikap diam saja dan mendengarkan apa yang dia katakan. Lama-lama ternyata dia akhirnya lupa dan sudah kembali dengan aktifitasnya yang lain.
Setelah kejadian itu, saya berpikir dan bertanya,” Apakah konsep menang kalah atau menjadi juara 1 yang saya ajarkan itu salah penerapannya? Saya pernah bercerita bersama teman sesama rekan guru, saat kami mengantar siswa-siswi mengikuti lomba terkadang ada anak yang tidak siap menerima kekalahan. Bahkan lebih banyak anak yang tidak siap daripada yang siap. Biasanya yang tidak siap langsung dapat dilihat dari cara mereka menunjukkan emosi setelah mengetahui mereka kalah. Ada yang menangis sesunggukan, ada yang langsung lemas dan tidak mau bicara, ada yang mogok ngga mau ikut lomba lagi dan sebagainya.
Dari peristiwa sore itu, saya mengambil kesimpulan bahwa anak-anak kitapun harus diajarkan bahwa dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu memperoleh apa yang kita inginkan. Kita harus bersiap menerima kenyataan buruk yang terjadi pada diri kita (saya rasa tidak hanya anak-anak yang perlu terus diingatkan, orang tuapun sama.). Kita harus memiliki kemauan untuk menjadi yang terbaik tetapi kitapun selalu siap menerima setiap kekalahan.
Ternyata jalan saya menjadi seorang ibu masih sangat panjang, dan saya harus selalu siap menerima kejadian-kejadian ajaib yang dilakukan oleh anak-anak saya.
Bagaimana para orang tua, sudahkah kita mempersiapkan anak kita untuk menerima kekalahan?
Subscribe to:
Posts (Atom)