Pagi-pagi sudah bicara cinta.
Apakah virus yang tidak ada obatnya ini sedang melanda saya? Jawabannya adalah
benar sekali. Tiba-tiba di hari ulang tahun pernikahan saya teringat peristiwa
yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Di sebuah pagi yang indah, perasaan
saya sudah berdebar tidak menentu. Peristiwa ini memang saya tunggu tapi apakah
ini sebuah keputusan yang tepat. Pernikahan, seperti berjalan menuju dunia baru
dimana saya harus meninggalkan tempat bernaung yang memberikan rasa aman dan
bahagia.
Saat itu, Saya tidak pernah
terpikir tentang bagaimana perasaan ayah. Orang yang sangat dekat dan berarti
bagi saya. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri sehingga lupa betapa
seharusnya hari itu saya bisa lebih dekat dengan beliau karena beliaulah yang
nantinya akan memberikan ijin sehingga saya bisa keluar dari rumah dimana
tempat saya dibesarkan untuk mengikuti orang yang baru memberikan cinta setelah
saya dewasa. Bahkan sampai saat ini belum pernah saya bertanya seperti apa rasanya
menyerahkan seorang anak yang sangat dicintainya (pastinya!) kepada orang lain
yang baru dikenalnya dan saya adalah kali pertamanya beliau menjadi wali dalam
akad nikah nanti.
Jam 08.00 di hari Jumat tanggal 14
September 2001, kami sudah menuju masjid Al Musyawarah yang tidak jauh dari
rumah. Mengenakan pakaian pengantin berwarna putih saya merasa seluruh tubuh
saya bergetar sepanjang perjalanan. Memasuki masjid perasaan saya bertambah
sedih, entah mengapa. Suasana masjid
pada saat itu terasa hening, sendu dan syahdu. Kami duduk terpisah antara
laki-laki dan perempuan dalam posisi melingkar saling berhadapan. Acara dimulai
saat seorang laki-laki yang menjadi sesepuh membawakan acara. Saya lebih banyak
tertunduk, sesekali menatap Ayah yang berada beberapa meter dihadapan saya. Saya
merasa Ayah tidak sekalipun mengarahkan tatapan pada saya, entahlah atau saya
yang tidak pernah tahu.
Tibalah pada saat MC memanggil nama saya dan menanyakan, “Apakah anak Endah mau meminta ijin kepada Ayah atau kita langsung memulai acara akad nikahnya?.
Saya tidak pernah tahu dan tidak
menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tanpa sadar, saya mengangguk
dan akhirnya memegang mic. Suara saya
bergetar saat itu, sambil terbata saya mengatakan,”Ayah…”. Tenggorokan saya
tiba-tiba tersekat, saya menunduk dan tanpa sadar bulir-bulir air mata mengalir
jatuh menggenangi pipi. Suasana semakin hening, saya rasanya tidak sanggup lagi
melanjutkan.
Sambil bergetar akhirnya suara saya terdengar,”Endah memohon ijin untuk menikah”. Setelah itu saya langsung meletakkan mic dan menunduk sambil terus menangis.
Kemudian Ayah pun menjawab,”Mari kita laksanakan akad nikahnya”.
Semua kenangan ini, tiba-tiba tergambar lagi disaat saya merayakan hari pernikahan yang ke 15, 14 September lalu. Tepatnya setelah sebulan yang lalu ayah wafat di tanggal 14 Agustus 2016. Kepergiannya yang tidak pernah saya duga (siapapun tidak pernah akan bisa menduga), rasanya baru kemarin saya memeluk, mencium, dan berbincang tentang apa yang beliau rasakan. Mengapa rasa cinta ini malah semakin membesar di saat beliau sudah tiada. Rasa rindu sepertinya tumbuh mengakar semakin kuat mencari tempat untuk menuangkannya. Betapa pedihnya jika cinta dan rindu hanya bisa dikabarkan lewat doa yang mengalun. Tak pernah bisa lagi mencium tangannya, menggenggamnya sambil menanyakan makanan apa yang ingin dicicipinya. Menyesal tidak banyak menunjukkan rasa cinta pada ayah di saat beliau masih ada.
Percayalah, selagi masih diberi
waktu tunjukkan rasa cinta itu. Dengan segala perhatian layaknya kita jatuh
cinta, dengan kata-kata lembut untuk orang-orang yang kita cintai. Siapapun
itu, ayah, ibu, adik,kakak, suami, anak, dan yang lainnya. Kita tidak pernah
tahu, seberapa lama kita diberi waktu bersama dengan orang –orang yang kita
cintai. Waktu adalah misteri yang tidak pernah ada jawabannya.
Lupakan sejenak semua kesibukan, tinggalkan semua keriuhan. Beri kesempatan sesering mungkin bagi cinta kita untuk ditunjukkan kepada orang-orang tersayang. Jadwalkan layaknya meeting atau rapat yang harus kita hadiri. Bukankah cinta ini lebih penting dari semua kesibukkan yang tidak pernah ada habisnya. Selagi masih ada waktu…. Selagi masih diberi waktu.