Minggu lalu saya berkunjung ke sekolah Feldy, playgroup griya Ananda. Berkunjung ke sekolah Feldy memang jarang sekali saya lakukan....apa karena dia anak kedua ya? (perhatiaan saya tidak seperti saat kakaknya sekolah). Feldy memang sangat mandiri, dia sudah bisa memakai baju sendiri sejak usia 3 tahun, semua kegiatan seperti mandi, makan, dan lain-lain biasanya tidak mau dibantu oleh orang lain. Nah, pagi itu Feldy dengan manjanya meminta saya untuk menjemputnya di sekolah. "Ma, nanti aku dijemput ya.....! katanya sebelum saya berangkat ke kantor. Lalu sayapun menyanggupi sambil mencium keningnya. Jam 11 siang saya langsung meluncur ke sekolah Feldy menggunakan motor honda tua kesayangan saya. Sesampai di sana, saya masuk dengan hati-hati agar Feldy tidak melihat saya. Sengaja ini saya lakukan agar Feldy tidak mengalihkan perhatiannya karena dia kelihatan begitu sibuk mengerjakan tugas mewarnai yang ditugaskan gurunya. Karena duduk dipojokan saya dapat melihat semua aktifitas di dalam kelas pada waktu itu. Hampir semua anak-anak balita ini ditemani oleh orang dewasa, ada yang ditemani ibunya, pengasuhnya atau neneknya. Tiba-tiba perhatian saya teralih pada seorang anak kecil berkulit putih dan berwajah tampan dengan ibunya yang cantik. Ibu ini terus memarahi anaknya jika anaknya melakukan kesalahan dalam mewarnai gambar. "Ayo...A, jangan keluar garis kalau mewarnai. "Loh, kenapa seperti ini? Cepat....dong! (diselingi cubitan kecil) Sini biar mama aja.... Nah, cepat kasih ke bu guru...! Lalu si A ini dengan langkah kecilnya berlari menuju bu guru. Adalagi yang tidak sabar sampai ibunya langsung merebut crayon anaknya dan asyik mewarnai.
Saya tersenyum dalam hati yang menimbulkan pertanyaan, sebenarnya yang bersekolah ini siapa? Anaknya atau ibunya? Sebagai orang tua terkadang kita membuat harapan yang sangat tinggi pada anak-anak kita. Inilah yang membuat setiap orang tua berkompetisi dan saling membandingkan. Kita lupa bahwa anak-anakpun memiliki cara tersendiri dalam belajar dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Pengalaman saya saat memiliki anak pertamapun demikian. Membandingkan dia dengan anak lain, memaksa dia untuk memiliki kemampuan yang sama dengan orang lain. Pelajaran ini saya ambil dan menjadi ilmu yang tidak akan saya lupakan disaat saya melahirkan Feldy.
Percayalah, anak-anak kita mampu untuk belajar dan akan berhasil mengatasi masalah yang mereka hadapi. Dampingi mereka, temani mereka tapi biarlah mereka mewarnai dunia mereka dengan warna-warna yang mereka pilih dan sukai.....!! (dari saya yang terus belajar....)
3 comments:
Setuju Mbak...
Kadang gemes ngeliatin mama yang spt itu. Ada juga loh di sekolah anak saya.
Kadang saya kasian sama anaknya.
Anak saya yang besar masih di TK, tp kurikulum sekarang sudah ampyunnnn... deh. Duh Mbak ada hapalan bahasa Inggris dan Arab. Belum lagi hitungan yang udah pake susun kebawah..
Kadang kasian lihatnya...
Pas kemarin ujian saya tidak paksa belajar. Klo dia minta belajar baru belajar.
Tapi Alhamdulillah kemarin dapet juara satu membaca antar kelas.
Anak-anak adalah anak-anak, punya dunianya sendiri, yang kita pikir mereka nggak bisa ternyata ajaib mereka lebih dari yang kita pikir Mbak... Mereka tetep terbaik dengan segala yang mereka miliki.
Mereka belajar lebih cepat dari kita, nggak perlu maksa...
Loh kok curhat...
Salam kenal ya Mbak.. Thanks sudah mampir :)
sekolah sekarang kok sepertinya jadi ajang pemaksaan diri anak ya ...mbak. Aq malah lebih senang anak2 belajar skill of life...seperti gimana cara mengelola emosi, gmn menerima kekalahan menjadi pelajaran dan gimana bersosialisasi....de es be...
kata khalil gibran, anak bagai anak panah dan orang tua adalah busurnya
busur hanya bisa mengarahkan, setelah lepas anak panah akan melesat sendiri
:-)
Post a Comment