Masalah guru pembelajar ini mengingatkan pada tulisan yang pernah saya tulis sekitar 5 tahun silam dalam buku antologi "Kumpul Guru Jadi Guru". Ide mengenai guru pembelajar tiba-tiba terlintas dibenak saya yang berasal dari pengalaman pertama menjadi guru SD saat mengajar di kelas. Makna guru pembelajar dalam tulisan tersebut hampir sama artinya dengan program guru pembelajar dari Kemendikbud walaupun saya menggalinya dari sisi yang berbeda. Pada akhirnya makna guru pembelajar adalah kemampuan guru untuk selalu berusaha mengembangkan diri dengan belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan kualitas pribadi sebagai seorang guru dan akhirnya akan berakibat meningkatnya kualitas diri kita sebagai manusia.
Siapapun bisa berlaku seperti guru. Memberikan ilmu atau keterampilan dari yang belum tahu menjadi tahu. Belum bisa menjadi bisa ataupun mampu membawa perubahan dalam diri orang lain.Harapan saya dengan mempublikasikan kembali tulisan ini pembaca mendapatkan manfaatnya. Bisa berbagi ilmu dan terus belajar dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Yuk jadi guru pembelajar!
Guru
Pembelajar
Oleh
Endah Wulandari
Dua puluh tahun yang
lalu, saat saya masih merasakan bahagianya menjadi murid di sekolah dasar,
sosok guru adalah sosok yang sangat saya kagumi sekaligus saya takuti. Kagum karena bagi saya, guru adalah orang
yang tahu segalanya. Takut karena guru
bagaikan memiliki kekuasaan yang membuat saya tidak bisa mengeluarkan kata
ataupun bergerak dengan bebas karena takut menimbulkan kemarahannya.
Tak pernah terlintas
dalam benak saya untuk menjalani profesi mulia ini dalam kehidupan saya
sebelumnya. Layaknya kebanyakan anak, saya tentu saja memilih cita-cita yang
terlihat keren dan membanggakan. Saat duduk di bangku SD saya bercita-cita
menjadi astronot , beranjak SMP saya bercita-cita menjadi dokter dan ketika SMA
saya berniat menjadi seorang analis kimia. Jika saat ini saya menjalani profesi
ini maka saya adalah seorang guru yang masih terus belajar bagaimana menjadi
guru. Dikarenakan saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang
guru.
Di hari pertama
bekerja, saya masuk kelas dengan pakaian rapi dengan menggunakan blazer
layaknya pekerja kantor seperti tempat dimana sebelumnya saya bekerja. Bahan-bahan
mengajar sudah saya siapkan, mulai dari kata pembukaan sampai kata penutup,
terus terang saja saya sangat percaya diri di pagi itu. Dalam pikiran saya, apa
susahnya mengajar anak SD? Mengajar orang dewasa saja saya sudah berpengalaman
apalagi hanya menghadapi anak SD pastilah ini akan dengan mudah saya hadapi.
Bel masuk pun berbunyi, saya pun membuka pintu. Belum sempat saya berkata-kata,
serombongan anak tiba-tiba langsung mendorong saya sehingga saya pun terpaksa
mundur masuk kembali ke ruang laboratorium komputer tempat saya akan mengajar.
Murid-murid saya sudah berlarian masuk dan saling berebut komputer tempat mereka
akan belajar. Saya tercengang, karena bingung bagaimana harus menghentikan
keributan yang tiada henti. Saya pun mengucapkan salam pembuka sampai beberapa
kali dengan berteriak. Tetapi suara saya masih terkalahkan oleh suara siswa
yang berdengung seperti suara lebah mengelilingi sarangnya. Akhirnya dengan
sangat terpaksa, saya memukulkan penggaris kayu ke papan tulis, dengung itu
berhenti suasana menjadi senyap. Blazer saya mendadak terasa panas dan mulailah
saya mengajar dengan hati bertanya, apakah saya sanggup melewati hari ini
dengan sempurna? Hari pertama, saya belajar mengenai manajemen kelas.
Teori mengajar memang
bisa didapatkan dari berbagai buku atau dunia maya, tetapi belajar langsung di
depan kelas mengasah guru untuk terus berinovasi mencari metode terbaik sesuai
dengan kebutuhan murid yang diajarnya. Suatu ketika di kelas saya terdapat
murid yang berkebutuhan khusus, murid ini sangat pintar tetapi dia tidak lancar
bicara. Pada awalnya saya menganggap anak ini tidak perlu mendapatkan cara belajar
yang berbeda dengan siswa yang lain. Saat menerangkan tidak ada masalah yang
terjadi, semua siswa diam dan memperhatikan materi yang saya ajarkan melalui
layar infocus. Setelah menerangkan
siswa saya bimbing untuk mengikuti langkah-langkah yang saya lakukan. Pada
tahap inilah mulailah terjadi keributan, siswa saya yang ABK ternyata akan
langsung berteriak jika dia tidak bisa mengikuti apa yang saya perintahkan.
Sedangkan saya tidak bisa memahami apa yang ia katakan. Bisa dibayangkan kelas
menjadi kacau karena saya harus terus berhenti mengajar jika siswa ABK ini
berteriak untuk mencari tahu permasalahan. Akhirnya saya mengambil keputusan,
siswa ini didudukkan tepat di sebelah saya sehingga dia bisa melihat langsung
apa yang saya lakukan tanpa harus melihat layar infocus. Ternyata keputusan
saya sangat tepat, akhirnya siswa ini bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan
mampu memperoleh nilai yang baik juga di akhir semester. Metode ini saya
tularkan kepada guru komputer yang mengajarnya di kelas selanjutnya. Dari
pengalaman ini, saya belajar, setiap siswa memiliki cara belajar sendiri.
Guru ternyata tidak
hanya memberi ilmu, di dalam kelas seorang guru bisa saja menjadi seorang
murid. Satu pengalaman yang sangat membekas di hati saya, saat mengajar kelas 3
di suatu pagi. Materi yang saya bawakan sangat sederhana yaitu menggambar
bentuk-bentuk dengan menggunakan salah satu software gambar Paint. Menggambar dengan komputer merupakan pelajaran yang sangat
disenangi oleh anak-anak berbeda jika mereka diberi crayon dan kertas gambar
yang terkadang tidak semua murid menyenanginya. Saya mengajar mereka menggambar
lingkaran, segitiga, persegi dan masih banyak lagi. Tiba-tiba salah seorang
murid saya berkata,”Bu Endah, sulit sekali ya, untuk menggambar garis lurus.”
Saya yang tidak
pernah mendapat pertanyaan seperti itu langsung menjawab,” Ya, memang agak
sulit tetapi kalau kamu menggambar garis dengan perlahan pasti garisnya akan
menjadi lurus.”
Kemudian dari sebuah
sudut terdengar salah seorang murid menyahut,” Bisa kok Bu! Caranya tekan
tombol shift lalu gambar garisnya,
pasti tidak akan bengkok!”
Terus terang pada
awalnya saya malu diajari oleh anak kelas 3 belajar cara menggambar garis lurus
di komputer padahal saya adalah seorang sarjana komputer. Alhamdulillah, saya
akhirnya menghilangkan rasa malu dan berkata, “Terima kasih A! Ayo, semua
sekarang kita coba menggunakan tombol shift untuk menggambar garis lurus.” Dan
saya pun belajar, ilmu bisa datang dari siapa saja.
Menjadi guru ternyata
tidak hanya memiliki kewajiban untuk memberi ilmu pengetahuan. Ada kewajiban
lain yang ternyata lebih besar dari itu yaitu membentuk kepribadian. Kewajiban
yang pertama tentu saja jauh lebih mudah dilakukan dari kewajiban yang kedua.
Percaya atau tidak, untuk membuat murid-murid tertib meletakkan sepatu di
rak membutuhkan waktu hampir dua tahun
bagi saya. Ini pun melalui komitmen dengan memberikan sanksi jika siswa
tidak mematuhinya. Jadi tidak heran bila membangun karakter siswa memerlukan
waktu yang lama dan hal ini sering luput dari kita sebagai guru karena
kewajiban ini memang bukanlah kewajiban tertulis yang akan kita temui di surat
perjanjian saat kita bekerja. Kalau kita tidak mau sadar maka jangan heran jika
nanti kita melahirkan generasi yang jenius tetapi tidak memiliki kepribadian
yang tangguh. Dari sini saya belajar, guru tidak hanya memberi ilmu tetapi juga
memberi cahaya bagi nurani.
Setelah hari pertama
menjalani profesi ini, saya masih belajar. Hari kedua menjalaninya, saya masih
belajar. Ternyata setelah hari ke 2675 saya menjalaninya, saya masih terus
belajar bagaimana mennjadi seorang guru yang baik bagi anak-anak didiknya.
2 comments:
Keren ....... bu Endah.....
Terima kasih bu Novi... masih terus belajar bu...
Post a Comment